Jumat, 03 Mei 2013

Self-conversation



“Kenapa kita mesti hidup?”

“Karena kita diberi nyawa untuk hidup, karena kita diberi kesempatan untuk hidup.”

“Kenapa kita mesti bersyukur untuk itu?”

“Karena ada banyak orang lain yang tidak diberi kesempatan itu. Ada banyak sekali bayi yang mati bahkan sebelum mereka sempat keluar dari rahim ibunya.”

“Tapi kita tidak pernah meminta untuk dihidupkan, kan?”

“Ya, memang.”

“Maka kita tidak perlu bersyukur ataupun berterima kasih telah dihidupkan, kan?”

“Dengan hidup kita jadi mengetahui tentang kebahagiaan, dan kita harus berterima kasih untuk itu.”

“Tapi dengan hidup kita juga menderita.”

“Setelah menderita akan ada bahagia. Derita dan bahagia selalu datang silih berganti, seperti untung dan rugi.”

“Dan kenapa kita harus diberi kesempatan merasakan itu semua? Kita bahkan tidak meminta untuk hidup.”

“Hidup, dihidupkan, mati, dimatikan.. Kita tidak akan pernah selesai membicarakan itu semua, karena semuanya di luar kuasa kita. Di luar akal pikiran kita.”

“Kita seenaknya diberi nyawa, disuruh hidup tanpa pernah ditanya mau atau tidak, dan nanti akan dimatikan tanpa tahu kapan dan bagaimana.. Kenapa berarti salah kalau kita kembalikan nyawa kita sendiri tanpa harus menunggu waktu yang ditentukan?”

“Hanya Tuhan yang dapat menjawab itu. Kita hanya bisa menerima.”

“Tidakkah kau ingin tahu??”

“Tentu. Tapi aku juga tidak ingin meragukan Tuhan-ku.”

“Apa menurutmu semua kata-kataku salah?”

“Aku tidak punya hak untuk mengatakan itu salah atau benar. Kau hanya bertanya. Tapi akan lebih baik kalau kau tidak pernah meragukan Tuhan-mu.”

“Aku tidak meragukannya, aku hanya bertanya-tanya.”

“Sebagian besar orang mungkin akan menganggap itu salah. Pikiran yang tidak boleh dibicarakan. Pikiran yang seharusnya tidak boleh ada.”

“Tapi Dia juga yang memberi kita keingintahuan, aku tidak berpikir seperti ini kalau Dia tidak memberiku keingintahuan, kan? Ini hanya salah satu dari hasil kerja otak kita, dan Dia juga yang memberi kita otak.”

“Tentu saja Dia pun pasti tahu akan ada salah satu makhluk-Nya yang berpikir seperti itu. Dan otak pemberian-Nya juga bisa kita pakai untuk berpikir untuk menerima semua ini.”

“Menerima begitu saja?”

“Ada hal-hal yang harus tidak bisa kita mengerti, di situlah letak perbedaan kita dan Pencipta kita.”

“Apa arti dari semua yang ada di ini? Hidup? Apa arti hidup?”

“Hanya Dia yang tahu. Mungkin kita baru bisa mengetahuinya kalau kita bisa bertemu dengan-Nya dan bertanya pada-Nya langsung.”

“Kena-”

“Pertanyaan ‘kenapa’ tentang ‘hidup’ tak akan pernah ada jawabannya kalau kau bertanya pada sesama manusia. Umur kita juga masih terlalu muda untuk tahu segalanya tentang hidup. Mungkin juga semua jawaban itu baru terlihat saat kita mati.”

“Banyak yang sudah lama hidup, dan tampak tidak terlihat seperti itu. Banyak yang lebih lama hidup, tapi tetap menyia-nyiakan hidup. Tua bukan berarti bijaksana.”

“Ya, karena itu jangan buat dirimu termasuk seperti mereka itu. Banyak juga yang muda dan lebih bijaksana.”

“Bagaimana caranya?”

“Selalu berpikir positif. Akan selalu ada yang baik dan buruk dalam setiap hal yang terjadi. Terima semuanya, syukuri yang terjadi baik ataupun buruk.”

“Sesederhana itu?”

“Terdengar sederhanakah? Prakteknya selalu sulit. Kalau gampang dan semua orang melakukannya, dunia tidak akan pernah butuh polisi.”

“Aku harus percaya padanya?”

“Harus. Kalau kau tidak percaya pada Yang Menciptakan kehidupan, siapa lagi yang akan kau percayai?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar