“Kenapa kita
mesti hidup?”
“Karena
kita diberi nyawa untuk hidup, karena kita diberi kesempatan untuk hidup.”
“Kenapa
kita mesti bersyukur untuk itu?”
“Karena
ada banyak orang lain yang tidak diberi kesempatan itu. Ada banyak sekali bayi
yang mati bahkan sebelum mereka sempat keluar dari rahim ibunya.”
“Tapi
kita tidak pernah meminta untuk dihidupkan, kan?”
“Ya,
memang.”
“Maka
kita tidak perlu bersyukur ataupun berterima kasih telah dihidupkan, kan?”
“Dengan
hidup kita jadi mengetahui tentang kebahagiaan, dan kita harus berterima kasih
untuk itu.”
“Tapi
dengan hidup kita juga menderita.”
“Setelah
menderita akan ada bahagia. Derita dan bahagia selalu datang silih berganti,
seperti untung dan rugi.”
“Dan
kenapa kita harus diberi kesempatan merasakan itu semua? Kita bahkan tidak
meminta untuk hidup.”
“Hidup,
dihidupkan, mati, dimatikan.. Kita tidak akan pernah selesai membicarakan itu
semua, karena semuanya di luar kuasa kita. Di luar akal pikiran kita.”
“Kita
seenaknya diberi nyawa, disuruh hidup tanpa pernah ditanya mau atau tidak, dan
nanti akan dimatikan tanpa tahu kapan dan bagaimana.. Kenapa berarti salah
kalau kita kembalikan nyawa kita sendiri tanpa harus menunggu waktu yang
ditentukan?”
“Hanya
Tuhan yang dapat menjawab itu. Kita hanya bisa menerima.”
“Tidakkah
kau ingin tahu??”
“Tentu.
Tapi aku juga tidak ingin meragukan Tuhan-ku.”
“Apa
menurutmu semua kata-kataku salah?”
“Aku
tidak punya hak untuk mengatakan itu salah atau benar. Kau hanya bertanya. Tapi
akan lebih baik kalau kau tidak pernah meragukan Tuhan-mu.”
“Aku
tidak meragukannya, aku hanya bertanya-tanya.”
“Sebagian
besar orang mungkin akan menganggap itu salah. Pikiran yang tidak boleh
dibicarakan. Pikiran yang seharusnya tidak boleh ada.”
“Tapi Dia
juga yang memberi kita keingintahuan, aku tidak berpikir seperti ini kalau Dia
tidak memberiku keingintahuan, kan? Ini hanya salah satu dari hasil kerja otak
kita, dan Dia juga yang memberi kita otak.”
“Tentu
saja Dia pun pasti tahu akan ada salah satu makhluk-Nya yang berpikir seperti
itu. Dan otak pemberian-Nya juga bisa kita pakai untuk berpikir untuk menerima
semua ini.”
“Menerima
begitu saja?”
“Ada
hal-hal yang harus tidak bisa kita mengerti, di situlah letak perbedaan kita
dan Pencipta kita.”
“Apa
arti dari semua yang ada di ini? Hidup? Apa arti hidup?”
“Hanya
Dia yang tahu. Mungkin kita baru bisa mengetahuinya kalau kita bisa bertemu
dengan-Nya dan bertanya pada-Nya langsung.”
“Kena-”
“Pertanyaan
‘kenapa’ tentang ‘hidup’ tak akan pernah ada jawabannya kalau kau bertanya pada
sesama manusia. Umur kita juga masih terlalu muda untuk tahu segalanya tentang
hidup. Mungkin juga semua jawaban itu baru terlihat saat kita mati.”
“Banyak
yang sudah lama hidup, dan tampak tidak terlihat seperti itu. Banyak yang lebih
lama hidup, tapi tetap menyia-nyiakan hidup. Tua bukan berarti bijaksana.”
“Ya,
karena itu jangan buat dirimu termasuk seperti mereka itu. Banyak juga yang
muda dan lebih bijaksana.”
“Bagaimana
caranya?”
“Selalu
berpikir positif. Akan selalu ada yang baik dan buruk dalam setiap hal yang
terjadi. Terima semuanya, syukuri yang terjadi baik ataupun buruk.”
“Sesederhana
itu?”
“Terdengar
sederhanakah? Prakteknya selalu sulit. Kalau gampang dan semua orang melakukannya,
dunia tidak akan pernah butuh polisi.”
“Aku
harus percaya padanya?”
“Harus.
Kalau kau tidak percaya pada Yang Menciptakan kehidupan, siapa lagi yang akan
kau percayai?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar